APBN Khilafah Untuk Indonesia

HAFIDZ ABDURRAHMAN
Indonesia menerapkan prinsip anggaran belanja (APBN) berimbang (balanced budget). Yang dimaksud dengan anggaran pendapatan belanja berimbang adalah suatu keadaan di mana, penerimaan sama dengan pengeluaran. Sedangkan dalam konteks negara, yang dimaksud dengan anggaran berimbang (balanced budget) adalah bila penerimaan pajak sama dengan pengeluaran pemerintah dalam suatu periode tertentu. Namun dalam praktiknya, pemerintah menganut prinsip anggaran belanja defisit (deficit budget). Hal ini bisa dilihat dalam APBN maupun APBN-P yang ditetapkan pemerintah setiap tahun.
Inilah yang juga dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menaikkan harga BBM, dengan alasan bahwa subsidi BBM ini telah membebani APBN. Beban ini pun diklaim telah menyebabkan terjadinya defisit pada APBN. Padahal, dengan naiknya harga minyak mentah dunia, maka sebagai negara penghasil minyak, seharusnya pemerintah Indonesia juga akan menikmati keuntungan dari kenaikan tersebut. Itu berarti, pemasukan pemerintah melalui sektor migas ini akan bertambah, bukan sebaliknya.
Karena itu, klaim “subsidi BBM akan membebani APBN” ini jelas bohong. Jika pun benar, maka ini mengindikasikan adanya kesalahan dalam tata kelola kekayaan alam, khususnya migas. Maka, tulisan ini ingin menguraikan, bagaimana seharusnya APBN Indonesia ini disusun dengan benar sesuai dengan ketentuan syariah, dimana kekayaan tersebut benar benar dikelola sesuai dengan ketentuan hukum syariah. Inilah APBN Khilafah untuk Indonesia.
Sumber Penerimaan
Terkait dengan sumber penerimaan APBN Khilafah untuk Indonesia, secara umum ada tiga sumber, yaitu: (1) Bagian Fai’ dan Kharaj, yang meliputi Ghanimah, termasuk anfal, fai’ dan khumus (seperlima harta fai’); Kharaj, sewa tanah-tanah milik negara, Jizyah, barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan, Pajak. (2) Bagian Kepemilikan Umum, yang meliputi minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput, aset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf. (3) Bagian Shadaqat, yang terdiri dari shadaqah wajib, seperti zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak), zakat pertanian dan buah-buahan dan zakat ternak.
Namun, untuk konteks Indonesia saat ini, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.
Berdasarkan kondisi aktual saat ini, kita temukan sejumlah data yang diperlukan untuk menghitung besaran angka APBN antara lain, bisa diketahui sebagai berikut:
Pertambangan, Migas, Batubara dan Listrik
Secara umum, data-data aktual yang terkait dengan pertambangan, migas, batubara dan listrik adalah: Produksi minyak di Indonesia-saat buku ini ditulis-adalah sekitar 950.000 barel per hari (bpd). Bila asumsi harga minyak adalah USD 105,14/ barel dan nilai tukar rupiah Rp.9,130/USD maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp 911.931.790.000/hari, atau Rp. 328.295.444.400.000/tahun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10 persen dari nilai tersebut, maka nett profit-nya masih di atas Rp.295.465.899.960.000. Namun keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni USD 105,14/barrel) dan baru hasilnya yang dikembalikan kepada rakyat melalui Baytul Mal. Saat ini, Indonesia bahkan harus menjadi nett-importer minyak, karena kebutuhan minyak per hari 1,2 juta barrel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berku elektrifikasinya.
Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel gas per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25 persen harga minyak, nilainya sekitar Rp 483.803.812.800.000 atau nett profit-nya sekitar Rp 435.423.431.520.000. Produksi batubara adalah setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50 persen harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp. 345.574.152.000.000, atau nett profit-nya sekitar Ro 311.016.736.800.000.
Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geotermal) atau nuklir. Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri. Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara Bukit Asam dan PLN maka PLN rugi puluhan trilyun.
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang luar biasa. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 trilyun setahun, dan ini baru 20 persen dari nett profit, itu artinya nett profit-nya adalah Rp 30 trilyun per tahun. Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi, bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 ton emas murni per hari. Secara kasar, bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauksit, besi juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp 50 trilyun per tahun.
Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp 1.091.906.068.280.000. Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing (terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini. Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan adalah tidak dapat diperbarui, meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tapi suatu hari pasti akan habis juga.
Produksi Kelautan
Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar USD 82 milyar atau Rp 738 trilyun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10 persen, maka ini sudah sekitar Rp 73 trilyun.
Kehutanan
Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5 persen tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta dan nett profit-nya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2.000 trilyun. Fantastis. Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separo hutan Indonesia telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legalpun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Tapi Rp 1.000 trilyun juga masih sangat besar. Dan kalau dikelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Dengan demikian, dari akumulasi total pendapatan kekayaan alam di negeri ini, jika semuanya dikelola berdasarkan syariah, maka negara akan mendapatkan pemasukan per tahun sebesar Rp 2.169.906.068.280.000 (jika dibulatkan Rp 2.169,9 trilyun). Sungguh fantastis.
Pengeluaran
Jika menggunakan data pengeluaran pemerintah dalam APBN 2012, yaitu sebesar Rp 1.400 trilyun, maka pendapatan negara dari sektor kekayaan alam di atas sudah jauh lebih dari cukup, bahkan surplus Rp 769 trilyun. Ini artinya, pemerintah seharusnya tidak perlu menaikkan harga BBM dengan alasan subsidi telah membebani APBN. Tetapi, angka penerimaan yang fantastis di atas tidak akan pernah bisa diraih oleh pemerintah, selama sistem dan tata kelola kekayaan alam di negeri ini tetap tidak berubah, alias masih Kapitalistik dan liberal.
Ini artinya, sistem kapitalis-liberal inilah sesungguhnya yang menjadi sebab, mengapa negeri yang memiliki kekayaan alam yang kaya raya ini ternyata tidak bisa menyejahterakan rakyatnya dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Bahkan, sebaliknya justru semakin membebani dan menghisap jerih payah dan keringat rakyatnya sendiri. Mulai dari pengurangan subsidi, kenaikan pajak, meningkatnya beban hidup, biaya kesehatan dan pendidikan yang harus mereka pikul.
Maka, alih-alih mengentas kemiskinan, justru tiap tahun angka kemiskinan terus meningkat dan membengkak. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok 6,8 persen tahun 2012 tetap tidak bisa mengubah apapun. Secara statistik, ekonomi terus tumbuh, tetapi data statistik juga menunjukkan ironi, yaitu bertambahnya angka kemiskinan.
Dalam hitungan APBN-Khilafah untuk Indonesia ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh utang Indonesia secepatnya, untuk kemudian melesat menuju kesejahteraan dengan syariah di bawah naungan Khilafah. APBN-Khilafah untuk Indonesia Ini sekaligus menggambarkan, bahwa Indonesia ke depan bukan saja akan hidup dengan makmur dan sejahtera, tetapi juga bebas dari penindasan dan penjajahan.
Tidak hanya itu, dengan APBN-K ini, Indonesia akan bangkit menjadi negara adidaya baru, dan benar-benar menjadi negara besar, bukan karena postur demografi dan geografinya, tetapi besar karena pengaruh rilnya dalam konstelasi politik global. Wallahu a’lam. []